Friday, August 12, 2016

>> LUKISAN DAN BIOGRAFI I NYOMAN MASRIADI


I Nyoman Masriadi lahir di Gianyar, Bali Tahun 1973. Saat ini ia tinggal dan menetap di kota Jogjakarta. Di sanalah, ia kini tinggal bersama istrinya, Anna, dan dua anaknya, menikmati suasana yang nyaman dan damai. Sejuknya air kolam renang, pohon kamboja kuning berbunga rimbun, rerumputan hijau, serta Merajan (pura kecil) yang terdapat di halaman teras belakang, menghantarkan suasana Bali, asal pelukis kontemporer yang namanya kini tengah menjadi pembicaraan berbagai balai lelang internasional.

Seniman muda ini baru saja diprofilkan majalah Sotheby’s International Preview sebagai salah satu top master dan seniman kontemporer di dunia. Salah satu karyanya, Jago Kandang, masuk dalam rangking pertama Sotheby’s Top Ten Contemporary South East Asian Painting versi Asian Contemporary Art and Culture Magazine, 2008. Dalam dua tahun ini, harga karyanya terus menembus angka-angka baru. Karya terakhirnya, Sudah Biasa Ditelanjangi, terlelang dengan harga cukup fantastis di balai lelang Christie’s International Hongkong beberapa waktu lalu.

Pameran tunggal pertamanya baru akan diselenggarakan di Singapore Art Museum Agustus ini. ”Karena karyanya sudah tak ada (habis terjual), saya pinjam dari para kolektor,”aku Masriadi yang memang dikenal sangat konsisten dalam berkarya. Ia tak mudah kompromi soal standar, dan selalu berkembang dalam pemikiran, karena itu lukisannya boleh dibilang langka juga di pasaran.

Amir Sidharta, pengamat seni dan pemilik balai lelang Sidharta, mengatakan betapa pasar kini terus menanti karya-karya Masriadi yang dianggap mewakili semangat seni kontemporer melalui gayanya yang cerdas, jenaka dan figur-figurnya yang unik.

Lihat saja dalam Facial (2008). Ia menggambarkan pria setengah baya berkulit gelap yang mengenakan ikat kepala putih tengah meringis saat terapisnya yang seksi – hanya divisualkan melalui rok pendek yang memperlihatkan sebagian besar paha rampingnya di kepala sang Bapak– memencet jerawat hingga berdarah. Lalu, ia menempatkan balon cerita, seperti halnya pada komik, bertuliskan Oomnya terharu. Atau dalam Bingkisan (2006): bercerita tentang seorang wanita bertubuh tipis, hanya mengenakan busana dalam, tengah memeluk bingkisan yang besarnya sekitar empat atau lima kali lipat dari tubuhnya, dengan mata yang penuh pengharapan. Karyanya memang tak hanya berhenti hanya sampai di mata, mengundang respon secara kilat, membangkitkan imajinasi, namun juga menawarkan sebuah wacana.

Bila di atas kanvas karyanya begitu kaya wacana, bercerita—bahkan cenderung cerewet, tidak demikian halnya dengan sisi keseharian Masriadi. Para pemilik galeri dan pengamat seni yang pernah mengenalnya sepakat mengatakan bahwa ia memang sosok pendiam, tak banyak bicara, bahkan cenderung cuek. Istrinya, Anna, barangkali lebih tepat sebagai juru bicaranya. Tapi apakah benar demikian?

”Sebenarnya saya tak bermaksud tertutup, tapi memang harus nunggu panas dulu,” ucap Masriadi yang tampak riang dan penuh humor di malam itu. Memang untuk bisa berbincang akrab dengan Masriadi –seperti dikatakan Rudi Mantofani, rekan seprofesinya–lawan bicara harus satu gelombang dulu dengannya. Bila sudah demikian, ia memang terasa lebih terbuka. “Membangun kepercayaan dengan orang lain memang bukan hal yang gampang buat saya,”tukas Masriadi yang jarang berkumpul di berbagai pertemuan atau pameran seni yang ada. Dia lebih suka berada di rumah, berkarya dan main computer game .

Saat bicara game, ia memang tampak antusias. “Game itu menyenangkan. Ada tantangan yang harus kita selesaikan. Selesaikan dan kita menjadi yang terhebat,” ucap Masriadi yang banyak mendapatkan inspirasi latar (setting) dari permainan gamenya. “Sekarang aku lagi suka RF. Kalau sudah di depan computer, aku bisa tahan berjam-jam, bahkan lebih tahan dari lamanya kerja. Ha ha ha.. yang jelas, game itu ‘kan tempat melarikan diri.”

Soal lari-melarikan diri ini memang bukan yang pertama. “Saya senang hidup sendiri. Cita-cita saya dari kecil memang ingin nggak ikut orang tua, seperti tradisi Bali. Agak aneh memang cita-cita saya ini di waktu itu,”tukas Masriadi sambil menceritakan tentang kebiasaan di Bali bahwa anak lelaki yang sudah berkeluarga harus tetap tinggal di rumah yang sama dengan keluarga asalnya. Dia hanya tak bisa membayangkan bila ia yang bersaudara 5 orang masih tinggal di rumah yang sama seperti tradisi Bali. “Apalagi saya anak tengah. Paranoid juga. Ha ha ha..”

Dibesarkan dalam tradisi seni Bali yang khas, Masriadi boleh dibilang membelok dari gaya lukisan adat yang pernah membesarkannya sejak sepuluh tahun lalu. Meski sebenarnya, nuansa ke-Bali-an itu ternyata tak pernah hilang betul dari dirinya. Lihat saja bagaimana ia menggayakan rumahnya, membawa tradisi Bali, atau seperti bunga kamboja di dalam lukisannya. Namun, perbedaan gaya lukisan yang sangat menyolok ini sempat membuat Anna –yang saat itu tengah mengandung anak pertamanya dengan penuh kekhawatiran karena hidup mereka yang pas-pasan, tinggal di rumah kontrakan yang sempit—mempertanyakan, sekaligus mengkritik gaya lukisan suaminya yang dianggapnya tak pasaran itu. ”Kenapa kamu melukis orang gemuk-gemuk seperti itu, sementara orang lain membuat lukisan yang bagus-bagus?”

Dan seperti biasa, Masriadi tak pernah menjawab alasannya. Ia terus konsisten membuat karya-karya yang dipengaruhi oleh kontradiksi budaya dan ketidakkonsistenan yang diangkat dari persoalan sehari-hari. Yogyakarta dan situasi sekelilingnya—ingat bahasa plesetan dan gaya hidup yang nrimo, pasrah, apa adanya—menjadi istana imajinasi yang sempurna.

Ide lukisannya lahir dari berbagai masalah yang ditemuinya sehari-hari. “Harus ada masalah, baru aku kerja. Nggak ada urusan prosesi. Cuma duduk begini saja, aku sudah dapat ide,” ia menghembuskan rokok dengan nikmat, lalu menyeruput campuran vodka dan jus jeruk bikinan istrinya. “Dulu waktu saya kuliah, mungkin sedikit terpengaruh dengan gaya seniman-seniman besar dunia. Tapi terlalu banyak dijejali konsep malah jadi membelenggu kreativitas. Sampai akhirnya, saya tak mau terikat konsep lagi.”

Masriadi tak sempat menyelesaikan kuliahnya di Institut Seni Indonesia (ISI). “Saya tak mampu bikin 30 lukisan untuk tugas akhir… padahal saya sudah KKN…,” tukasnya. Melukis buat dia memang bukan sekadar mencoretkan ide di atas kanvas dengan begitu mudah. Ia benar-benar menyentuhkan pikiran dan jiwanya di atas kanvas. “Dulu saya takut bicara di depan umum, kalau dipaksa gemetaran, demam panggung. Karena itu daripada saya ditanya konsep karya saya, yang kadang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata, mending saya membuat karya yang gampang-gampang saja.” Kelemahan ini memang dirasa sangat mengganggunya. Bahkan mungkin hingga kini.

Tapi keputusannya benar. Setelah keluar, ia justru lebih bebas berkreasi tanpa harus ditanya apa makna lukisan yang dibuatnya. Hasilnya, selama sepuluh tahun terakhir dia bergulat dan mematangkan gaya lukisannya sekarang. “Hidup itu tiap hari perjuangan. Tapi buat aku fun aja..,”katanya santai.

“Kalau orang bicara soal bisnis, ada untung rugi. Kalau buat aku, ini soal kerja seni. Kalau kerja seni, itu rasanya seperti dewa. Melakukan kesenangan setiap hari. Ini mungkin beda dengan orang lain. Apakah ini disebut perjuangan?,” Lalu ia tertawa. “Wong kita kerja senang kok, masak dibuat seperti orang susah.” Ia tertawa terbahak-bahak melihat istrinya tampak sewot mendengar jawabannya. Sorot matanya tak bisa dipungkiri, ia memang sangat mencintai istrinya.

Tak dipungkiri, peran Anna dalam kehidupan dan berkarya Masriadi memang luar biasa. Anna menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani sang suami: menemaninya melukis hingga dini hari, lalu mengantar ke warnet untuk main game saat mereka belum punya komputer dan menjemputnya di pagi hari, menemani bertemu para tamu, menjaga anak-anaknya, pada akhirnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesuksesan Masriadi. Kekompakan itulah yang akhirnya membuat karya Masriadi terus melaju bersama waktu.
(sumber)


Be Hunted by I Nyoman Masriadi, 150cm x 200 cm, Acrylic on canvas, 2015



Bendera Kaos Oblong by I Nyoman Masriadi, 275cm x 175cm, Acrylic on canvas, 2014



Bicara dengan pohon Duren by I Nyoman Masriadi, 200cm x 300 cm, Acrylic on canvas, 2016



Bicara pada Burung by I Nyoman Masriadi, 200cm x 300 cm, Acrylic on canvas, 2016



Great Daddy by I Nyoman Masriadi, 200cm x 300 cm, Acrylic on canvas, 2015



Invasion by the Clowns of Time by I Nyoman Masriadi, 145cm x 200cm, oil on canvas, 1999



King of Lies by I Nyoman Masriadi, 200cm x 200 cm, Acrylic on canvas, 2016



Masriadi is the Winner by Nyoman Masriadi, 145cm x 200 cm, acrylic on canvas, 1999



Old Master by I Nyoman Masriadi, 200cm x 300 cm, Acrylic on canvas, 2016



Past and Future by I Nyoman Masriadi, 200cm x 150 cm, Acrylic on canvas, 2015



Selfie By I Nyoman Masriadi, 150 x 200cm, Acrylic on canvas, 2014



Shangrila by I Nyoman Masriadi, 200cm x 150cm, Acrylic on canvas, 2015



Smile Target by I Nyoman Masriadi, 200cm x 150 cm, Acrylic on canvas, 2015



Unstoppable by I Nyoman Masriadi, 200cm x 300cm, Acrylic on canvas, 2015



Weight by I Nyoman Masriadi, 125cm x 225 cm, Acrylic on canvas, 2015

>> LUKISAN DAN BIOGRAFI NASIRUN


Nasirun, perupa kelahiran Cilacap, 1 Oktober 1965 itu, memang seniman yang kuat dan kokoh dalam soal produktivitas dan kreativitas. Meskipun ia sudah jadi milyarder, tapi ia tetap naik motor bebek yang dibelinya sekitar tahun 1997. Kalau mau membeli mobil super car, tentu Nasirun sanggup, namun itulah sifat kesedehanaan nya.

Diawali menggambar di waktu kecil. Pada 1983, Nasirun belajar membatik dan mengukir di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). Lalu 1987 masuk jurusan seni murni di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Jogja. Tapi kuliah di ASRI hanya mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Baru pada 1991 terjadi akumulasi kesadaran bahwa seni lukis adalah profesi nya.

Nasirun lulus dari ISI  Institut Seni Indonesia, Yogyakarta pada tahun 1994. Beliau pernah pameran tunggal di Yogyakarta, Solo dan Jakarta, dan telah berpartisipasi dalam berbagai pameran kelompok di Indonesia, Singapura dan Belanda. Penghargaan yang diterima termasuk Lukisan Terbaik ISI Yogyakarta tahun 1991; McDonald Award, Lustrum X, ISI Yogyakarta 1994, dan dia adalah salah satu pemenang hadiah Top Ten Awards Seni Indonesia pada tahun 1997.

Nasirun termasuk perupa yang diperhitungkan pada tingkat nasional dan regional. Karya-karyanya adalah usaha menafsir ulang seni tradisi (terutama wayang) dengan melakukan distorsi anatomi para tokohnya dan mengevaluasi struktur nilainya. Tak jarang, interpretasi itu dikaitkan dengan masalah sosial-politik yang sedang aktual dengan sentuhan humor dan ironi yang kental.

Nasirun seorang pelukis yang komplit. Tekniknya tinggi, imajinasinya luar biasa. Ia cerdas dan menguasai konsep, namun ia tidak meninggalkan segi estetik bahkan rasa merupakan sisi terkuat dari Nasirun. Karyanya ekspresif dan imajinatif.

Beberapa kisah inspiratif dan positif yang bisa dipetik dari pelukis yang memiliki sifat ramah dan bersahaja Nasirun.

Suatu hari, ia sedang melukis di rumahnya. Tiba-tiba ada seorang anak muda, memakai motor butut datang dan ingin melihat dia melukis.
 "Saya kemudian ambilkan kursi. Kursinya juga lebih tinggi daripada kursi saya yang saya pakai duduk sambil melukis. Saya juga ambilkan minuman dan saya melanjutkan melukis," tutur Nasirun.

Dan pemuda itu asyik melihat saya melukis. Tiba-tiba pemuda ini sambil bicara pingin membeli lukisan yang sedang saya lukis.
"Mas Nasirun, saya seneng lihat lukisan ini, Boleh ya saya beli." kata anak muda itu. "Aduh bagaimana ya mas, ini mau saya pamerkan," jawab Nasirun. "Tolonglah mas. Saya seneng sekali dan pingin memilikinya." rengek anak muda ini.

Nasirun terdiam sejenak. Sambil dalam hati memikir. Kemudian dengan bahasa yang lugu dan kerendahan hati, akhirnya dia beranikan bicara. "Tapi ini mahal mas. Seratus tujuh puluh lima juta," jawab Nasirun.

"Ya mas Nasirun. Gak apa-apa," jawab anak muda ini. Tentu saja Nasirun kaget. Dari "potongannya" anak muda ini, pakaiannya T-shirt, naik motor butut. Tetapi kok mau beli lukisan saya.

Singkat cerita, anak muda ini meminta nomor rekening Nasirun dan pulang. Esok harinya ada mobil mewah datang bersama sebuah mobil box. "Pak Nasirun, saya mau ambil lukisan. Ini bukti transfernya, " seorang bapak setengah baya menyerahkan selembar kertas. "Lho....siapa mas yang datang kemarin itu ?" tanya Nasirun terheran heran. "Itu anak bapak..." tuturnya sambil menyebut nama seorang tokoh nasional, pengusaha ternama di Indonesia.

Kisah unik lainya, suatu hari Nasirun pernah diremehkan oleh pegawai dealer ketika mau beli sebuah mobil seharga Rp 400 juta. Semua yang datang ke dealer itu disambut para sales dengan senyum dan minuman teh botol sambil dijelaskan sistem cicilan. Tapi Nasirun karena potongan rambutnya gondrong, pakai celana pendek tidak ada satupun yang mau melayani.

Sampai kemudian istrinya datang dan membawa uang cash Rp 400 juta, Nasirun kemudian memanggil seorang sales dan ia bilang mau beli cash. Tentu saja sales itu malu dan bingung melayani. Lari ia menggambilkan teh botol. Nasirun senyum dan cerita.
"Rasa minumannya sudah tidak enak. Karena dari hati yang terpaksa bukan dari hati yang ikhkas." Itulah Nasirun. Seorang pelukis yang unik. Sikap hormat seorang Nasirun kepada teman, sahabat dan tamu-tamunya, kebersahajaan yang luar biasa, adalah kunci awal yang menjadikan karyanya menyentuh hatin orang. Teknik melukis, piawai memainkan warna dan pemahaman tentang lukisan yang indah, adalah modal dasar bagi seorang pelukis sukses. Yang lebih utama justru kesuksesan dia menaklukkan dirinya. Karya yang indah adalah ramuan penguasaan atas teknik melukis dengan kebersihan hati dan kebersahajaan.


Mitos dan Legenda Alas Pasetran Gondo Mayit by Nasirun, 200cm x 400cm , oil on canvas, 2002



Abstraction by Nasirun, 90cm x 145 cm, oil on canvas, 2014



Cingin Tuhon By Nasirun ,2000



Do'a untuk Bui by Nasirun



Festival Rampogan by Nasirun, 200cm x 300cm, oil on canvas, 2004



Figures By Nasirun ,1995



Indonesia Pusaka by Nasirun, 68.5cm x 68.5 cm, oil on canvas Mixed Carving Wood, 2011



Kyai Narsisrun by Nasirun, 200cm x 280cm, oil on canvas, 2009



Mintorogo By Nasirun ,1999



Pertiwi Jangan Menangis Lagi by Nasirun



Rupawan (rupa one) by Nasirun, 200cm x 300cm , oil on canvas, 2008



Setan Mbesan by Nasirun, 90cm x 145 cm, oil on canvas, 2001



The Death of Kumbokarno by Nasirun, 200cm x 400 cm, oil on canvas, 2001



Untitled by Nasirun, 250cm x 145 cm, oil on canvas, 2013

>> LUKISAN DAN BIOGRAFI IVAN SAGITA


Ivan Sagito atau Ivan Sagita lahir di Malang tahun 1957 dan belajar di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1979-85. Dia dikenal sebagai seorang seniman introvert dan misterius, namun karya seninya cukup terkenal di dunia seni. Dia menggunakan teknik melukis realistik untuk membuat gambar realistis. Keluar dari ketegangan ini, ia berusaha untuk menggambarkan ketidakpastian kehidupan sehari-hari, terutama karena mereka berdampak pada orang-orang yang tidak berdaya dalam menghadapi kemiskinan dan ketidakadilan.

Ivan Sagita adalah salah satu seniman yang paling menonjol terkait dengan surealisme Yogja, sebuah gaya yang muncul di tahun 1980-an. Jenis ekspresi ini seringkali dipandang sebagai reaksi terhadap pergeseran dekoratisvisme atau realisme di bawah era Soeharto. Karya-karyanya seringkali bersifat satir dengan simbolik, mengeksplorasi tema kemanusiaan dan isu-isu sosial.

Dia mengatakan: "Bagi saya, hidup selalu pergi berbeda dari yang kita harapkan. Ini adalah mengapa saya cenderung untuk mengekspresikan ketidak pastian Melihat kehidupan di lingkungan saya, saya mendapat kesan bahwa semua orang dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat".

Subyek Ivan Sagito yang sering dituangkan kedalam karya-karyanya adalah orang-orang tradisional Jawa yang hidupnya ia mengamati perjuangan di Yogyakarta. Dia telah menyatakan: "Mereka berjuang untuk bertahan hidup, tapi mereka menerima apa pun yang terjadi pada mereka." Dalam persiapan untuk sebuah lukisan, ia mungkin mengambil beberapa foto dari subjek dalam upaya untuk menangkap realitas batin mereka.

Ivan Sagito hampir selalu melukis sosok manusia berulang kali dalam satu pekerjaan, menggambarkan mereka dalam pergeseran pose atau situasi yang berbeda. Lukisan Ivan Sagito yang terpilih sebagai Karya Terbaik di 7 dan 8 Jakarta Biennale Seni Lukis pada tahun 1987 dan 1989, dan ia dianugerahi medali perak di Triennale Osaka pada tahun 1996.

Pameran tunggal pertamanya adalah di Duta Fine Art Gallery di Jakarta pada tahun 1988. Pameran kelompok dipilih meliputi: Tree Asian Art Show (Museum Seni Fukuoka, Jepang, 1989); The Seventh Asia Pameran Seni Internasional (Bandung, Indonesia, 1992); The First Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (Galeri Seni Queensland, Brisbane, Australia, 1993); Asian Warna Air (Galeri Nasional, Bangkok, 1995), dan Modernitas and Beyond (Singapore Art Museum, 1996).

Penghargaan:
1987: Award Biennale Seni Lukis Jakarta - Indonesia
1989: Award Biennale Seni Lukis Jakarta - Indonesia
1996: Silver Medal, The Osaka Triennale 1996. Japan
1998: Mainichi Broadcasting System Prize, The Osaka Sculpture, Triennale 1998.

Pameran Tunggal
2003 : Red Mill Gallery, Vermont Studio Centre, US.
2000 : "Freezing The Time", Drawing Exhibition, Gallery of Northern Territory University, Darwin, Australia.
2005 : "Death Containing Life", CP ARTSPACE, Jakarta

2011 “final silence” Pulchri Studio , Denhaag - Holland



Wayang & Wayang by Ivan Sagita, 100 cm x 127 cm, Oil On Canvas , 1987



At that moment by Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



Beban by  Ivan Sagita, 75cm x 55cm,Ink On Paper, 2008



body swing by  Ivan Sagita, 65cm x 65 cm, Oil On Canvas , 2014



Dialog Imajiner Antar Sosok by Ivan Sagita, 127 cm x 100 cm, Oil On Canvas , 1988



Dishes for life by  Ivan Sagita, 65cm x 65 cm, Oil On Canvas , 2014



Exotism that contains an ancient myth by Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



I am returning to the earth by Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



Is it as simple and as easy as this by  Ivan Sagita, 65cm x 65 cm, Oil On Canvas , 2014



Lima Ekor Sapi by Ivan Sagita, 100cm x 80cm, oil on canvas, 1998



Manusia dan Wayang by Ivan Sagita, 140 cm x 100 cm, Oil On Canvas , 1987



Manusia yang wayang atau manusia yang topeng by Ivan Sagita, oil on canvas, 1989



Meraba Diri by  Ivan Sagita, 72cm x 90 cm, Oil On Canvas , 1998



Once upon a time there was a procession by  Ivan Sagita, 200cm x 155 cm, Oil On Canvas , 2011-2013



Procession by  Ivan Sagita, 200cm x 160 cm, Oil On Canvas , 2013



Procession 2 by  Ivan Sagita, 134cm x 110 cmm, Oil On Canvas , 2013



Same heart , same destination by  Ivan Sagita, 65cm x 65 cm, Oil On Canvas , 2014



Sapi by Ivan Sagita, 80 cm x 100 cm, Water color on paper, 2009



Semar by Ivan Sagita, 80 cm x 100 cm, Oil On Canvas , 1988



Something that always follows them by  Ivan Sagita, 142cm x 200 cm, Oil On Canvas , 2011



Swinging to nothingness by  Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



Terletak pada dua tempat by Ivan Sagita, 56 cm x 76 cm, oil on canvas, 2002



The thin line that separates by Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



Tidak Berada di Luar Melainkan di Dalam I by Ivan Sagita, 54 cm x 74 cm, oil on canvas, 2003



Tidak Berada di Luar Melainkan di Dalam II by Ivan Sagita, 54 cm x 74 cm, oil on canvas, 2003



Unnamed by Ivan Sagita, watercolour on paper, 30cm x 40 cm, 2011



Wajah pada Wayang-wayang by  Ivan Sagita, 44,5cm x 34cm, Oil On Canvas , 2006



Wanita Tua Menyanggul Rambut by  Ivan Sagita, 60cm x 60cm, oil on canvas, 2008



Woman and Mask by Ivan Sagita, 100 cm x 80 cm, oil on canvas, 1988