Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Biografi dan informasi lukisan original karya pelukis maestro terkenal

JAVADESINDO Art Gallery menyajikan informasi seputar biografi dan karya-karya lukisan original dari para pelukis maestro terkenal yang pernah dilelang atau dikoleksi oleh museum seni international.

Wednesday, July 3, 2013

>> LUKISAN KARYA RUSTAMADJI, KLATEN, JAWA TENGAH


Rustamadji dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 19 Januari 1921. Memulai karier melukis sejak tahun 1938 yang ditempuh dengan cara belajar sendiri. Tahun 1942 - 1947, ia bermukim di kota Malang, Jawa Timur. Dalam tahun 1948 s/d 1955 tinggal di Yogyakarta dan bergabung dengan kawan-kawannya seperti S. Soedjojono, Batara Lubis, Hendra Gunawan almarhum, Soedarso dan lainnya dalam sebuah sanggar. Pada tahun 1952, bersama dengan kawan lainnya mengadakan pameran keliling Indonesia atas sponsor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kemudian tahun 1956 sampai dengan 1968 bersama keluarganya bermukim di Jakarta.

Sejak tahun 1968 bersama keluarganya kembali hidup dan berkarya dikampungnya sendiri Klaten, Jawa Tengah hingga sekarang ini. Disamping melukis, juga membuat karya-karya patung, pada suatu ketika di tahun 1962 timbul inspirasinya untuk melukiskan bulan purnama, maka untuk keperluan itu dia mengasah batu membuat teropong bulan dengan cara yang sederhana maka kemudian bulan pun dilukisnya. Dalam proses melukis bulan itulah Rustamadji kemudian merasa sanggat dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa seru sekalian alam semesta, yang telah melimpahkan rahmat, rezeki, nikmat, bakat sepanjang kehidupan. Sebagai perkembangan lebih lanjut maka tahun 1965-1971 dalam mendalami hidup, mengalami terbukanya hijab sehingga dia telah banyak menulis tentang ‘ketuhanan’ mencapai berjilid-jilid jumlah dalam bentuk stensilan atau cetakan yang sangat sederhana dan buku tersebut kemudian dibagikan kepada sahabat-sahabat dekatnya.

Salah satu karyanya yang berjudul ‘Pohon Nangka’ telah dikoleksi oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, yang kemudian digantungkan dalam buku seni lukis Indonesia Koleksi Bung Karno pada penerbitan pertama edisi II. Lukisannya yang lain telah menjadi koleksi Adam Malik, Joop Ave, Yakob Utama serta kolektor lainnya. Karya-karya patung yang pernah dibuatnya antara lain ‘Hamengku Buwono IX’ dibuat dengan bahan batu gunung, merupakan patung besar yeng berukuran lebih kurang 0,75 x 120 cm, karya tersebut diserahkan kepada Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Sebuah patung kecil ‘Potret Diri’ Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian ditempatkan pada Museum seni rupa Fatahillah Jakarta.

Bersama rekan-rekan pematung lainnya, pernah menggarap karya monumental ‘Tugu Muda’ yang dikerjakan pada tahun 1953 di Semarang, kemudian mengerjakan bass relief dan patung di Museum Corp Polisi Militer di Jakarta pada tahun 1954. Dalam tahun 1958 mengerjakan patung ‘Wage Rudolf Soepratman’ dengan bahan batu, hingga kini patung tersebut masih terpasang di halaman Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta. Karya patung ‘Erlangga’ yang di buat pada tahun 1962 dengan bahan perunggu, hingga saat ini masih terpasang megah di halaman dalam Hotel Indonesia. Setelah selesai mengerjakan patung ‘Erlangga’ kesehatannya terganggu sehingga sanggat jarang keluar rumah yang menyebabkan hubungan dengan rekan-rekan seniman lainnya agak terganggu.

Kendati demikian dengan sisa tenaga dan kemampuan yang dimiliki dia terus melukis dengan tekun sekalipun tak pernah terbayang kemungkinan untuk mengadakan pameran. Satu demi satu karyanya diselesaikan kemudian dinikmatinya sendiri sebelum disimpan hingga mencapai jumlah 50 lukisan yang di buat dari bahan cat minyak diatas kanvas dalam berbagai ukuran kecil (40 x 50 cm) dan ukuran besar (210 x 390 cm). Selama hampir 23 tahun sejak tahun 1958 - 1981, Rustamadji seolah-olah hidupnya terasing dan terpencil agaknya terlepas dari barisan parade seni rupa Indonesia yang teramat riuh pertumbuhannya pada saat itu. Barulah pada bulan Agustus 1981. Muncul kembali dengan pameran tunggalnya yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki.



Pelukis: Rustamadji, Judul: Hutan pinggiran, Media: Cat minyak diatas canvas, 
Ukuran: 190 x 300cm.



Pelukis: Rustamadji, Judul: Nangka di Kebon, Media: Cat minyak diatas canvas, 
Ukuran: 90cm x 90cm, Tahun: 1954

Tuesday, June 18, 2013

>> LUKISAN DAN BIOGRAFI ROLAND STRASSER

Roland Strasser lahir di Wina, Austria, 4 April 1895. Anak dari seorang pemahat, A Strasser. Dia mengikuti pendidikan Seni di Vienna dan melanjutkan pendidikan seni di Munich Jerman. Selama PD I dia menjabat pelukis perang di Angkatan Perang Austria. Perjalanan seni, yang datang ke Indonesia pada tahun 1920, dia tinggal di Jawa, Sumatera, Irian Jaya, dan Bali. Dia berpartisipasi di beberapa pameran di Jakarta, Bandung, dan Surabaya antara tahun 1921 dan 1937. Dia bertemu W Dooyewaard di Bali dan melanjutkan perjalanan ke Cina, Tibet, Mongolia, dan Jepang. Sekitar tahun 1935-1945 bersama istrinya tinggal di Kintamani, Bali.

Terakhir dia tinggal di Santa Monica USA. Pelukis terkenal, juru gambar dan pelukis cat air dalam gaya ekspresionis. Pekerjaan utamanya mengkombinasikan aliran ekspresionis Austria dengan keajaiban dan keindahan Timur Jauh. Dia menulis sebuah buku tentang perjalanan di Cina dan Mongolia yang digambarkan dalam lukisannya 'The Mongolian Horde' (London, New York, Toronto, 1931).

Pernah mengadakan pameran di:
  • Jakarta, 'The Art of Roland Strasser', 1922 (pameran tunggal)
  • London, WB. Paterson Galleries, Oktober 1924 (pameran tunggal)
  • Berlin, Louis Guditt, Galerie, 1928 (pameran tunggal)
  • Jakarta, Kunstkringgebouw, September 1932 (dengan W. Dooyewaard)
  • Jakarta, Bataviasche Kunstkring, November 1938 (pameran tunggal)
  • Bali, Duta Fine Arts Foundation, 1991 (pameran tunggal). 
Karyanya dikoleksi Museum Agung Rai Fine Art Gallery, Peliatan, Bali; Museum of Urga, Urga, (Mongolia).


"Mendayung" by Rolland Strasser, Medium: Oil on Carton, Size: 38cm x 46cm
*) Koleksi Bung Karno



"Wanita Bali duduk" by Roland Strasser, Medium: Water color on paper, Size: 43cm x 27,5cm
*) Koleksi Bung Karno



"Adu ayam di Bali" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 96cm x 120cm
*) Koleksi Bung Karno



"Bebotoh Bali I" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 82,5cm x 66cm
*) Koleksi Bung Karno



"Bebotoh Bali II" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 102cm x 83cm
*) Koleksi Bung Karno



"Gadis Bali memegang kipas" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 100cm x 57cm
*) Koleksi Bung Karno



"Legong" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 76cm x 38cm
*) Koleksi Bung Karno



"Penari Baris" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 102cm x 83cm
*) Koleksi Bung Karno



"Wanita Bali" by Rolland Strasser, Medium: oil on canvas, Size: 100cm x 58cm
*) Koleksi Bung Karno


>> LUKISAN DAN BIOGRAFI GERARD ADOLFS



Gered Pieter Adolfs, pelukis dari generasi Mooi Indie, berkebangsaan Belanda. Lahir di Semarang, JawaTengah, 2 Januari 1897. Seorang seniman otodidak yang mempelajari arsitektur di negara Belanda. Kembali ke Indonesia tahun 1922, dan sejak tahun 1925 menjadi pelukis secara total dan sekaligus seorang fotografer handal. Satu gambar dirinya yang digambar secara karikatural, memperlihatkan bentuk telinga yang sangat besar, ditampilkan di surat kabar De Java-Bode edisi 25 November 1938, sebagai tambahan artikeI tentang pameran tunggalnya di Hotel Des Indes Jakarta waktu itu.

Tahun 1940, ia kembali ke Belanda dan tinggal di 's- Hertogenbosch, meskipun terus menggambar obyek-obyek Indonesia saat berada di Belanda, dia tidak mampu mencapai kualitas karya-karya buatan sebelum tahun 1940-an. Sebagai seorang penggambar, pelukis cat air, dan seniman gratis dia telah membuat banyak ilustrasi buku dan menulis beberapa buku seperti Bali and Java (Jakarta, 1938) dan Soerabaja (Amsterdam, 1947) yang dipenuhi dengan ilustrasi karyanya sendiri. Sebelum tahun 1940 ia memberi tanda karyanya dengan pengenal "Ger.P. Adolfs". Setelah perang, saat dia telah berada di Belanda, dia menandainya dengan pengenal 'Adolfs'. Meninggal di 's- Hertogenbosch, Belanda, 1 Februari 1968.

Beberapa pameran yang pernah dilakukannya di:

  • Yogyakarta, Loji Mataram, Maret 1924 (Pameran Tunggal)
  • Surabaya, Kunstkringhuis, Desember 1926 (pameran tunggal)
  • Hague, Koninklijke Kunstzaal Kleijkamp, Januari 1929 (pameran tunggal)
  • Jakarta, Kunstkringgebouw Maret 1934 (pameran tunggal)
  • Amsterdam, Kunstzaal Fetter, Oktober 1934 (pameran tunggal)
  • Jakarta Kunstzaal Kolff & Co. Juli 1935 (pameran tunggal)
  • Jakarta, Hotel Des Indes, Desember 1936 (pameran tunggal ).


"Legong" by Gerard Adolfs, Medium: gouache on paper, Size: 23cm x 17.5 cm
*) Auction: Christie's Hongkong



"Rijstoogst Java" by Gerard Adolfs, Size: 30cm x 40 cm, Medium: oil on canvas
*) Auction: Christie's Hongkong



"Balinese Fisherman" by Gerard Adolfs, Medium: gouache on paper, Size: 50.5cm x 64.5 cm
*) Auction: Christie's Hongkong



"Old Quarter Cairo" by Gerard Adolfs, Size: 30cm x 40cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1959
*) Auction: Masterpieces



"Three Figures" by Gerard Adolfs, Size: 30cm x 40cm, Medium: Oil on canvas
*) Auction: Masterpieces



"The Farmer" by Gerard Adolfs, Medium: water color on paper, Size: 60cm x 40cm
*) Auction: Masterpiece


>> LUKISAN DAN BIOGRAFI RADEN SALEH


Raden Saleh lahir di Semarang tahun 1807 – meninggal di Bogor pada tahun 1880.
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab.Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).

Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.

Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.

Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis bunga. Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga, pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi.

Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua tahun pertama ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.

Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan menunjukkan ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu lalu menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Di Batavia ia tinggal di rumah di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta.

Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878. Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari, konon karena diracuni pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan, ia meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.
Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.

Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.

Meski serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar belakang Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena Jenderal de Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.

Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada tahun 1830 yang terjadi di rumah kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De Kock pun kelihatan sangat segan dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan.
Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro. Dari usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau mendapat predikat sebagai Pahlawan Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh prestasi artistiknya, membuat Raden Saleh dikenang dengan rasa bangga.

Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar.

Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha.
Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis yang semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels.
Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.

Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis.

Sumber: Wikipedia


"A Flood on Java" by Raden Saleh, Year: 1865-1876



Salah satu lukisan karya Raden Saleh berjudul " Berburu (Hunt), 1811-1880" media lukisan cat minyak diatas canvas, dikoleksi oleh Museum Mesdag, Belanda.



"Lion and Tiger Fighting" by Raden Saleh, Year: 1811-1880



"Arab attacked by Lion" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880




"Berburu Singa" by Raden Saleh, Size: 74cm x 115cm, Medium: oil on canvas, Year: 1839




"Fighting with a Lion" by Raden Saleh, Year: 1870



"Forest Fire and fleeing Animals" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Lion and Horse Fighting" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Lion Hunt on Java" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Lion Hunt" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Lion, Horse and Snake" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Nursing Tiger" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880



"Penangkapan Diponegoro " by Raden Saleh, Medium: Oil on canvas, Size: 77cm x 110cm, Year: 1830



"Penangkapan Diponegoro II" by Raden Saleh, Medium: Oil on canvas, Size: 112cm x 178cm, Year: 1857



"Ship in Storm I" by Raden saleh, Year: 1811 - 1880



"Ship in Storm II" by Raden saleh, Year: 1811 - 1880



"Javanese Landscape, with tiger listening to the sound of a travelling group" by Raden-Saleh, Medium: oil on canvas, Size: 112cm x 156,5cm, Year: 1810 - 1880
*) Auction: Christie's Hongkong


>> LUKISAN DAN BIOGRAFI DULLAH

Pelukis Dullah lahir di Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919, ia dikenal sebagai seorang pelukis realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah) dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui, Dullah belajar melukis dari dua orang Gurunya yang sekaligus merupakan pelukis ternama, yaitu S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya tersebut.  

Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas merestorasi lukisan (memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak) dan menjadi bagian dalam penyusunan buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak menyajikan lukisan dengan tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar, bahkan oleh Affandi dinilai sebagai karya satu-satunya di dunia.
  
Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak menjual lukisannya.
Bagi Dullah, melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan.

Ia juga menulis sajak, beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.
Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan, kolektor seni baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum seni lukis di Ceko.   


"Di depan pura" by Dullah, Size: 68cm x 54cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1969
*) Auction: Masterpiece



"Gadis Bali" by Dullah, Size: 60cm x 50cm, Medium: Oil on canvas
*) Auction: Masterpiece



"Gunung Lawu-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 130cm X 180cm, Year: 1953
*) Koleksi Bung Karno



"Halimah gadis Aceh" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 94,5cm X 74cm
*) Koleksi Bung karno



"Hutan di Gunung Merapi-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 221cm x 122cm
*) Koleksi Bung karno



"Kebun Sayur" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 96cm x 151cm
*) Koleksi Bung karno



"Landscape Ngarai" by Dullah, Size: 70cm x 135cm, Medium: Oil on canvas 
*) Auction: Masterpiece




"Ngarai Minagkabau-Sumatera" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 140cm x 72cm
*) Koleksi Bung karno



"Pemadangan di Kintamani" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 174cm x 349cm, Year: 1952
*) Koleksi Bung karno



"Pemuda lampung berpakain adat" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 120cm x 59cm, Year: 1952
*) Koleksi Bung karno



"Persiapan gerilya" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 178cm x 197cm
*) Koleksi Bung karno



"Persiapan Kebun Istana Presiden Soekarno sewaktu di Jogja" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 90cm x 125cm
*) Koleksi Bung karno



"Pintu gerbang suatu kampung di Bali" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 66cm x 84cm
*) Koleksi Bung karno



"Praktek tentara pendudukan asing" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 136,5cm x 199cm
*) Koleksi Bung karno



"Sawah dikaki gunung Lawu" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 92cm x 148cm
*) Koleksi Bung karno



"Sebuah pintu gerbang pura di Bali" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 159cm x 119cm
*) Koleksi Bung karno



"Seorang model wanita" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 90cm x 120cm
*) Koleksi Bung karno



"Smoking old fellow" by Dullah, Size: 98cm x 67cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1975
*) Auction: Masterpiece



"Telaga Sarangan-Jawa Timur" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 87cm x 114cm
*) Koleksi Bung karno



"Gadis Bali" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 60cm x 50cm
*) Auction: Masterpiece



"Girl with offering passing the tample" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 90cm x 60cm
*) Auction: Masterpiece


"Kakek" by Dullah , Size: 50cm x 40cm, Medium: oil on canvas
*) Auction: Masterpiece


"Penari Bali"by Dullah , Size: 556 x 60cm, Medium: oil on canvas